Beberapa waktu
yang lalu saya bersama beberapa saudara diutus untuk menghadiri tahbisan imamat
ke-4 saudara Kapusin : Sdr. Alfons, Sdr. Dedi, Sdr. Kristian dan Sdr. Lorenzo.
Tahbisan imamat ini dilaksanakan di Paroki Jangkang –alias Balai Sebut-. Ada suatu hal menarik yang saya temukan –atau baru saya sadari- ketika disana.
Diantara sekian banyak umat dan tamu undangan yang hadir, ada sekelompok orang
yang jumlahnya cukup ramai, berpakaian berwarna merah dengan banyak motif dan aksesoris.
Yak... mereka menggunakan pakaian adat Dayak, mereka dari komunitas IPBDL –Ikatan Pecinta Budaya Dayak Kabupaten Landak-
atau lebih dikenal sebagai komunitas Binua Landak.
Usut punya usut,
ternyata mereka ini memang sengaja diundang oleh panitia untuk menjadi bintang
tamu dan tentunya untuk meramaikan acara disana, sedikit mengherankan memang
sebab kota Balai Sebut yang notabene sebetulnya termasuk wilayah Kabupaten
Sanggau mengundang komunitas dari Kota Ngabang (NGB) yang merupakan ibukota Kabupaten
Landak, padahal di Sanggau sendiri ada komunitas semacam itu bernama KoPiDaDu.
Keheranan dan
kekaguman saya semakin memuncak ketika teman-teman dari Binua Landak ini tampil
diatas panggung untuk perform, dibuka dengan single pertama dan utama mereka : “Pantun
Binua landak”. Baru saja ketika nama ‘geng’ mereka dipanggil oleh MC, penonton
yang hadir bersorak dan bertepuk tangan dengan begitu meriahnya, dan ketika
mereka mulai menari dan menyanyi para penonton pun melakukan hal yang sama,
bahkan dari kakek-nenek hingga anak-anak hapal lagu yang mereka nyanyikan.
Wow...
Tiba-tiba saya
teringat dengan idol group JKT48 –boleh
dibilang saya juga vvota-. JKT48 adalah kelompok idola pop yang dibentuk
tahun 2011 sebagai franchise saudara lokal dari AKB48 yang berawal di
Jepang. Istilah ‘pop idol group‘ lebih tepat karena istilah ‘girlband‘ justru
rancu berhubung anggota JKT48 tidak main alat musik apa pun dalam
pertunjukannya. Serupa dengan Cherrybelle, JKT48 adalah salah satu tren
gelombang kelompok musik berisi gerombolan (anak) perempuan yang menghibur
dengan nyanyian dan tarian berkoreografi. Tentang JKT48 ini saudara bisa
temukan banyak referensi dari internet.
Nah, sama
seperti JKT48, IPBDL juga beranggotakan banyak orang, baik laki-laki ataupun
perempuan dari berbagai usia, semuanya menggunakan pakaian khas Dayak dengan
aksesoris yang semarak –hasil wawancara
saya dengan teman-teman, katanya pakaian ini mereka bikin sendiri-sendiri-,
semuanya bisa menari –sekalipun kadang
tidak kompak- dan semuanya bernyanyi, baik secara solo bergantian ataupun
chorus.
Boleh dikatakan
IPBDL ini memiliki satu konsep dengan JKT48, bedanya IPBDL adalah sebuah idol
group lokal. Komunitas semacam ini belakangan memang sedang marak bermunculan,
sejauh yang saya ketahui IPBDL adalah yang pertama, lalu ada KoPiDaDu, ada Komunitas
Binua Garantukng dan lain-lain yang masih belum begitu besar. Sebuah gebrakan
baru memang dalam dunia hiburan lokal di Kalimantan Barat khususnya.
Saya lalu merenung, kenapa
bisa kelompok ini lalu begitu sepopuler sekarang?
HIPOTESIS ANALISIS TEORITIS PRAKTIS
Saya akui
kualitas ‘kelompok musik’ ini bagus sekali, kualitas lagunya bagus –direkam secara profesional-, syair
lagunya indah –syairnya menggunakan
bahasa Ahe (Bahasa Dayak Kendayan)-, perpaduan musiknya terdengar pure, perpaduan gaya musiknya
tradisional dan modern, suara penyanyi solo mereka juga tidak bisa dibilang
buruk –ya.. tentu saja mereka tidak akan
memakai yang bersuara ‘sumbang’ untuk bernyanyi solo-, video klip mereka
untuk lagu ini juga bagus, sudah berkualitas HD, koreografi untuk tarian dalam
videonya juga bagus sekali, hanya saja video klip menari beramai-ramai dalam lagu-lagu
Dayak rasanya sudah terlalu umum, membosankan.
Kualitas rekaman
ini menjadi suatu keunggulan tersendiri, sebab tidak banyak lagu-lagu Dayak –hingga saat ini- yang dibuat secara
‘serius’, umumnya lagu direkam pada studio standar sehingga kualitas suaranya
tidak terlalu baik, begitu pula dengan musiknya nampaknya hanya dibuat sekedarnya
saja menggunakan keyboard, dan video klipnya kerap dibuat seperti ‘nggak niat’,
videonya berisi orang nyanyi atau nari-nari, kameranya goyang –mungkin mereka tidak terpikir memakai tripod
atau slider-, SD pula, konsep video klipnya kurang jelas, tidak sejalan
dengan lirik lagunya, dan lain sebagainya... , tidak bermaksud menjelekkan,
kebanyakan saya lihat video klip seperti ini berasal dari lagu-lagu yang
diproduksi oleh A Star Man Production, semoga di masa depan bisa lebih baik.
Ada yang
mengatakan musik adalah bahasa yang universal. Hal ini sepertinya berlaku pula
dengan lagu-lagu dari IPBDL. Sekalipun tidak semua orang bisa mudheng bahasa Ahe – memang bahasa Ahe cukup populer di
Kalimantan Barat, tetapi di daerah tertentu, misalnya Kabupaten Sanggau,
Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang dan di daerah timur Kal-Bar umumnya
masyarakat tidak menggunakan bahasa ini- tapi kalau lagu ini diputar,
dijamin semua akan tergoda untuk berjoged. Musik untuk lagu-lagu ini memang
mengundang untuk berjoged –sama seperti
musik dangdut atau disko- , musik menggunakan beat yang energik dan dipadukan dengan suara bass gong
dan kolintang, ketukannya yang konsisten sungguh enak untuk dibuat
koreografinya. Selain musik yang enak untuk bergoyang, gerak visual koreografi
dari para penari tentu pula mengambil peranan menjadi contoh ‘teladan’
bagaimana harus bergerak dan menari, lagipula koreografi untuk lagu-lagu ini
umumnya tidak terlalu sulit untuk diikuti. Dengan demikian, suasana disekitar
panggung tentunya menjadi hidup dengan ramainya orang yang joged massal, maka
kita pun akan menjadi serba-salah kalau hanya diam-diam saja, kita akan
tertarik untuk ikut berjoged menikmati irama lagu.
Pakaian yang
dipakai oleh teman-teman IPBDL juga sangat indah, atraktif. Mereka menggunakan
pakaian khas Dayak yang dimodifikasi menjadi lebih modern, setiap pakaian
memiliki motif yang berbeda namun tetap khas. Laki-lakinya menggunakan cawat,
baju serupa rompi –tanpa baju dalam, jadi
telanjang dada-, Topi yang dihiasi dengan bulu burung yang panjang-panjang,
kemudian ada pula bentuk paruh burung Enggang –sebagian ada yang menggunakan paruh asli-, kalung dengan hiasan
berupa tulang-tulang binatang, rambut, bahkan tengkorak kera. Perempuannya
lebih sederhana, menggunakan ikat kepala merah bermotif dari kain dengan hanya
satu bulu burung panjang, lalu baju serupa kemeja tanpa lengan dihiasi motif
yang dijahit dengan manik-manik, rok serupa sarung ketat –tentunya bermotif juga- dengan panjang hingga ke betis kaki, tapi
terbelah di sampingnya dari paha sampai ke ujung, lumayan enak dan indah untuk
dilihat. Dan oh iya, mereka semua menggunakan tato disekujur tubuh yang dibuat
menggunakan spidol.
Hasil pengamatan
saya dan hasil mengorek informasi dari beberapa teman yang secara langsung
bergabung dalam ‘idol grup’ ini, ternyata sebagian besar anggota mereka memang
sudah saling mengenal. Artinya, sebagian dari anggota sebetulnya masih memiliki
hubungan keluarga, pernah satu sekolah, satu kelas atau bahkan satu kampung.
Ada anggota yang bergabung karena ikut-ikutan atau diajak oleh teman-temannya. Komunitas
ini memang memiliki banyak anggota. Well.. saya tidak tahu pasti, tapi yang
jelas anggotanya melebihi 100 orang dan akan terus bertambah, dari berbagai
usia, berbagai profesi dan dari berbagai daerah. Asumsikan saja, setiap satu
dari seratus-lebih orang ini pasti memiliki keluarga-kenalan, yang tentunya akan
mendukung dan turut mempromosikan komunitas ini kepada kenalan yang lainnya.
Akhirnya komunitas ini menjadi banyak dikenal dan digandrungi orang. Benar-benar
suatu social marketing yang sangat
berhasil. Social marketing ini kemudian didukung dengan fakta sosial bahwa
orang Dayak pada umumnya memiliki rasa “nasionalisme-kultural” yang sangat
tinggi, dibuktikan dengan banyaknya usaha sablon/clothing khas Dayak –misal: Tariu Rock Denim dan Eclipse- yang
cukup sukses dan laku keras
Selanjutnya,
layaknya sebuah kelompok musik, IPBDL gencar sekali dalam berpromosi dan
perform. Komunitas ini terhitung sangat aktif. Sering tampil dalam berbagai
acara dan kegiatan, lagipula mereka tidak terlalu pilih-pilih acara, mulai dari
acara dinas pemerintahan, kegiatan keagamaan untuk anak muda –Temu OMK- , gawai padi –naik dango-, dan macam macam acara. Dan
yang terlakhir, sering muncul di TV, yakni Ruai TV, sebuah stasiun TV swasta
lokal yang cukup populer di Kalimantan Barat, kepopulerannya bahkan melebihi
kanal milik pemerintah TVRI Kalbar, sekarang Ruai TV sudah melakukan siaran FTA
melalui satelit juga, jadi bisa ditonton oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sekali lagi,
serupa dengan JKT48, saya rasa IPBDL telah mampu merubah stigma bahwa para
entertainer harus selalu tampil elegan dan ekslusif, mereka berhasil
menyuguhkan hiburan berkualitas yang sungguh merakyat, dari diri’ (kita), oleh diri’ ngan
muat diri’ uga.
Demikianlah
JKT48 ala Binua Landak ini semakin memajukan industri hiburan lokal di
Kalimantan Barat. Saudara tertarik juga untuk bergabung ?