Namanya petrichor.
Berasal dari bahasa Yunani, petros (batu) dan ichor (air). Apapun istilahnya, kamu pasti pernah menghirupnya. Sengaja ataupun tak sengaja.
Begitu pula aku. Tak jarang, memoriku ter-recall
setelah mendengar stimulasi dari telinga. Ya, namanya musik. Atau dari
penglihatan kedua mataku. Tapi sangat jarang terjadi bila kenangan
terpanggil kembali dari rangsangan hidung.
Dan itulah indahnya petrichor.
Aroma tanah bercampur air hujan, yang kata ibuku adalah bau debu yang
terbang karena terhantam butiran air, menghidupkan banyak gambaran masa
lalu di kepalaku.
Masa kecil, ketika ibu justru melarangku untuk menghirupnya karena menurutnya petrichor
itu jorok. “Debu itu, jorok jorok jorok! Sana masuk ke dalem rumah!”
hardiknya tiap kali aku menemaninya menyirami jalanan di depan rumah
lewat slang air.
Atau masa remaja ketika justru petrichor tak pernah kugubris. Aku begitu taat-nya pada prinsip ibuku. Petrichor
itu jorok. Titik. Dan aku bukan tipe pelawan ibu. Semua kata-katanya
adalah titah. Tak terbantahkan. Kututup hidung rapat-rapat ketika ia
hadir.
Saat-saat kos di Bandung, ketika duduk di
balkon sederhana menghadap kali Cikapundung. Hujan mulai turun,
menghantam atap asbes rumah ibu kosku. Bunyinya tidak seperti di lagu
itu. Lebih ke “buk buk buk” ketimbang “tik tik tik”. Hanya sejenak dapat
kunikmati petrichor, karena menit selanjutnya aroma comberan dari kali Cikapundung mulai menyeruak ke hidung.
Atau masa-masa keras di Jakarta, ketika petrichor
hanya singgah sedetik dua detik, karena sudah harus kupacu motorku di
tengah jalanan ibukota, demi menghindari basah kuyup di perjalanan. Atau
justru tak terhirup petrichor sama sekali karena sudah
kubentengi mulut dan hidungku dengan masker 5000-an, demi tidak
menghisap timbal kendaraan yang jutaan jumlahnya.
Juga teringat dekapan tangan mungil kamu
di sekeliling pinggangku, ketika hujan mulai menerpa kita di atas motor.
Dingin udara dan basahnya air hujan membuat dekapanmu semakin erat, dan
hangat. Petrichor pun turut menemaniku ketika jatuh cinta.
Tanah seperti pasrah pada hujan. Ketika
rintik-rintik hujan mulai turun, dirinya akan terhambur terbawa udara.
Melayang-layang, sebelum kemudian dihantam oleh butiran hujan lainnya.
Jika beruntung, ia menyeruak cukup tinggi, menggapai hidungku. Merasuk
ke dalam. Menciptakan sensasi istimewa.
Aku, ingin menjadi petrichor bagimu.
Penanda bahwa hari keringmu telah usai,
dan akan segera berganti dengan rintikan hujan yang menenangkan.
Penghapus debu di kehidupanmu, dan membasahinya lagi setelah sekian
lama. Penanda betapa butiran hujan telah siap melembutkan dirimu,
menyejukkannya setelah sekian lama. Mengingatkanmu untuk berteduh,
karena hujan akan segera datang. Atau justru membuatmu keluar, berlari
ke tengah hujan, dan menari.
Dan kita akan larut bersama, dalam hujan.
Source : Petrichor on armeyn.com